Not Fade Away

Peter Barton


Ketika Pesta Masih Berlangsung 

Bayangkan Anda berada di puncak kehidupan. Karir cemerlang. Pernikahan bahagia. Tiga anak yang luar biasa. Kesehatan yang prima. Uang lebih dari cukup. Masa depan yang cerah terbentang di depan. 

Lalu dokter memanggil. Anda duduk di ruangan yang steril, mendengar kata-kata yang mengubah segalanya: kanker stadium lanjut. 

Bagi kebanyakan orang, diagnosis seperti ini adalah akhir dari cerita. Tapi bagi Peter Barton, ini adalah awal dari perjalanan paling mendalam dalam hidupnya. 

Peter Barton bukan nama yang dikenal oleh semua orang. Tapi jika Anda pernah menonton MTV, Discovery Channel, QVC, atau ratusan saluran kabel lainnya, Anda telah menyentuh warisan yang ia bangun. Sebagai pendiri dan CEO Liberty Media, Peter adalah salah satu arsitek industri televisi kabel modern. 

Tapi buku ini bukan tentang kesuksesan bisnis. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih universal dan mendesak: bagaimana hidup ketika Anda tahu Anda akan mati. Dan bukankah kita semua? 

Ditulis bersama dengan novelis Laurence Shames dalam suara yang bergantian—Peter dari tempat tidur sakit, Shames sebagai pengamat dan teman—"Not Fade Away" adalah hadiah dari seorang pria yang menghadapi kematian dengan mata terbuka lebar dan hati yang penuh keberanian. 

Ini adalah cerita tentang bagaimana menjalani hidup dengan sepenuhnya, bahkan—terutama—ketika waktumu hampir habis.

 


Bagian 1: Hidup di Kecepatan Penuh 

Anak Tahun 1960-an 

Peter Barton lahir pada generasi yang tidak takut untuk mempertanyakan segalanya. Tahun 1960-an—era protes, rock and roll, perubahan sosial yang bergejolak. 

Di Columbia University, Peter tidak hanya siswa biasa. Ia protes. Ia mempertanyakan otoritas. Ia bergabung dengan gerakan yang percaya bahwa generasi muda bisa mengubah dunia. 

Tapi Peter juga seorang musisi. Ia bermain musik soul di Apollo Theater di Harlem—tempat legendaris di mana nama-nama besar seperti James Brown dan Aretha Franklin pernah menggebrak panggung. Untuk pemuda kulit putih dari latar belakang middle-class, ini adalah langkah berani ke dunia yang berbeda, dunia di mana musik adalah bahasa yang melampaui ras dan kelas. 

Peter muda memiliki energi yang menggelora—tipe energi yang bisa menjadi destruktif jika tidak disalurkan dengan benar. Ia sendiri menyadari ini dan belajar mengelolanya, membiarkannya "matang menjadi apa yang saya sebut sebagai ketidaktaatan kreatif." 

Ski Bum dan Dealer Kartu 

Setelah lulus dari Columbia dengan gelar ekonomi pada 1972, Peter tidak mengikuti jalur konvensional menuju karir corporate. Sebaliknya, ia menjadi... ski bum profesional. 

Ya, Anda membaca dengan benar. Dengan gelar dari universitas Ivy League, Peter memilih untuk menghabiskan bertahun-tahun hidupnya bermain ski, bekerja serabutan, dan menikmati kebebasan pemuda. 

Ia juga pernah bekerja sebagai dealer craps di kasino—pekerjaan yang mengajarkannya tentang probabilitas, risiko, dan membaca orang. 

Banyak orang akan mengatakan ini adalah "membuang-buang waktu." Tapi Peter tidak setuju. "Apa yang tidak layak tentang bekerja untuk memahami siapa Anda sebenarnya dan apa yang benar-benar Anda inginkan dari hidup?" tulisnya kemudian. "Penggunaan apa yang lebih baik yang bisa dilakukan seseorang dengan masa mudanya?" 

Efek samping dari "bermalas-malasan" ini? Anda secara bertahap menemukan bahwa Anda menjadi siap—siap untuk menjadi dewasa, bertanggung jawab, dan bekerja keras. 

Peter tidak terburu-buru. Ia membiarkan dirinya berkembang dengan kecepatan alami.

Politik dan Kekuasaan 

Di akhir 20-an, Peter pindah ke Washington D.C. dan memasuki dunia politik. Ia dengan cepat naik tangga, akhirnya menjadi aide senior untuk Gubernur New York Hugh Carey. 

Ini adalah pekerjaan dengan kekuasaan nyata, akses ke ruang-ruang keputusan penting. Tapi Peter melihat ini sebagai sekolah, bukan tujuan akhir. 

Ia membuat perjanjian dengan dirinya sendiri: "Aku akan meninggalkan pelayanan publik dan menghasilkan uang, sehingga aku bisa kembali ke pelayanan publik dengan independensi finansial. Uang adalah komponen instrumental dalam pelayanan publik karena memberikanmu cukup kemerdekaan finansial sehingga kamu, menurut definisi, tidak dapat dikorupsi." 

Dengan kata lain, ia ingin cukup kaya sehingga tidak bisa dibeli. 

Harvard Business School dan Strategi Gila 

Pada usia 31, setelah menikmati 20-an-nya, Peter memutuskan sudah waktunya untuk "menjadi dewasa" dan menghasilkan uang. Ia mendaftar ke Harvard Business School. 

Di HBS, kebanyakan MBA melamar ke perusahaan terbesar di industri paling mapan—investment banking, consulting—dan seperti kuda balap di lelang, menjual diri mereka kepada penawar tertinggi. 

Peter mengambil pendekatan yang sangat berbeda. Ia menetapkan gaji awalnya: nol.

Ya, tidak ada gaji sama sekali untuk 90 hari pertama. 

Strateginya sederhana tapi brilian: "Aku akan bekerja gratis selama 90 hari untuk perusahaan mana pun yang mau menerima ku. Dengan cara ini, mereka tidak memiliki risiko, dan aku mendapatkan kesempatan untuk membuktikan nilai ku." 

Ia juga punya dua kriteria untuk memilih tempat kerja: 

1. Seseorang yang sangat pintar 

2. Seseorang yang adalah kepala perusahaan 

Peter akhirnya mendapat pekerjaan dengan John Malone di TCI (Tele-Communications Inc.), yang pada saat itu adalah operator kabel terbesar di Amerika. Setelah 90 hari, ia ditawari gaji penuh $32,000 per tahun. 

Itu adalah awal dari karir yang akan mengubah industri televisi Amerika.

 


Bagian 2: Membangun Kekaisaran Kabel 

Visi yang Tidak Ada yang Lihat 

Tahun 1980-an awal. Televisi kabel masih dalam masa pertumbuhan. Kebanyakan orang hanya punya beberapa saluran broadcast. 

Peter Barton dan John Malone melihat masa depan yang berbeda: ratusan saluran, konten khusus untuk setiap niche, cara baru untuk menyampaikan hiburan dan informasi. 

Peter menjadi kepala negosiasi franchise dan programming di TCI. Ia adalah orang yang merundingkan deal dengan kota-kota di seluruh Amerika, mengamankan hak untuk meletakkan kabel dan membangun jaringan. 

Pekerjaannya adalah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Dan ia sangat baik dalam itu.

Cable Value Network dan QVC 

Pada 1986, TCI meluncurkan Cable Value Network—layanan home shopping untuk menyaingi Home Shopping Network yang sudah ada. 

Peter memimpin venture ini. Dalam waktu singkat, Cable Value Network menjadi nomor dua dalam penjualan, sebelum akhirnya merger dengan QVC Network. 

QVC—Quality, Value, Convenience—menjadi fenomena. Orang-orang menonton berjam-jam, membeli segala sesuatu dari perhiasan hingga peralatan dapur. Ini mengubah cara orang berbelanja. 

Peter tidak hanya membangun bisnis. Ia menciptakan cara baru untuk hidup.

Liberty Media: Membentuk Budaya 

Pada 1991, Peter menjadi founding president dari Liberty Media—spinoff dari TCI yang fokus pada programming. 

Di Liberty, Peter membantu mengembangkan berbagai saluran kabel: 

● Discovery Channel (mengubah TV pendidikan) 

● MTV (mengubah budaya musik dan pemuda) 

● Fox Sports Net (mengubah cara kita menonton olahraga) 

● Black Entertainment Television (memberikan suara pada komunitas yang diabaikan)

● Court TV (membuat hukum menjadi hiburan)

Tapi yang paling membanggakan Peter bukanlah deal atau uang. Itu adalah fakta bahwa ia membantu menciptakan platform di mana ide bisa berkembang, di mana kreator bisa menemukan audiensnya, di mana cerita bisa diceritakan yang sebelumnya tidak punya rumah. 

Mengetahui Kapan Cukup 

Pada 1997, di usia 46, Peter Barton mengundurkan diri sebagai president dari Liberty Media. 

Banyak orang terkejut. Ia ada di puncak karirnya. Perusahaan berkembang. Gaji dan bonus mengalir. 

Mengapa berhenti sekarang? 

Peter punya jawabannya yang jelas: "Keputusan yang tampak sangat abrupt dan tak terduga bagi orang lain, sebenarnya adalah bagian dari rencana yang sudah lama dipertimbangkan." 

Ia telah mencapai apa yang ia sebut sebagai "cukup." Pada usia 38, ia mencairkan stock options pertamanya untuk satu setengah juta dolar setelah pajak. "Tidak banyak menurut standar sebagian orang," tulisnya, "tapi cukup untuk menempatkan hidupku pada pijakan yang berbeda dan jauh lebih tidak tertekan." 

Ia tahu istri dan anak-anaknya akan aman. Mereka akan punya rumah. Sekolah dan kuliah akan terbayar. Itu sudah cukup. 

Uang yang ia hasilkan setelah itu? "Uang monopoli, hanya cara untuk menghitung skor." 

Peter memahami sesuatu yang banyak orang tidak pernah pelajari: Ada perbedaan antara menghasilkan uang dan hidup. 

Ia memilih untuk hidup.

 


Bagian 3: Diagnosis 

Pearl Harbor Day, 1998 

Tanggal 7 Desember 1998. Hari yang akan diingat dalam sejarah sebagai hari Pearl Harbor diserang. Untuk Peter Barton, ini adalah Pearl Harbor pribadinya. 

Dokter memanggil dengan hasil tes: kanker perut stadium lanjut. 

Peter berusia 47 tahun. Tiga anak masih kecil. Hidup baru saja menjadi sangat baik—ia punya waktu, uang, kesehatan (atau begitu ia pikir), dan kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan. 

Dan sekarang ini. 

Pertama datang shock. Kemudian penyangkalan. Lalu kemarahan. Dan akhirnya, sesuatu yang mengejutkan: penerimaan

"Kanker tidak membunuhmu sekaligus," Peter menyadari. "Itu memberikanmu waktu. Waktu untuk mengatur urusanmu. Waktu untuk berpikir. Waktu untuk merangkum segalanya." 

Ini adalah "hadiah" yang aneh—tapi hadiah juga. 

Perawatan dan Harapan Palsu 

Peter menjalani operasi. Kemoterapi. Radiasi. Seluruh arsenal medis modern dilemparkan pada kankernya. 

Dan untuk sementara, tampaknya berhasil. Tes menunjukkan kanker surut. Dokter optimis. Peter mulai bernapas lega. 

Ia kembali ke hidupnya—mengajar kursus entrepreneurship di University of Denver, mendirikan Privacy Foundation (organisasi nonprofit yang meneliti dampak teknologi pada privasi), menghabiskan waktu dengan keluarga. 

Tapi pada awal Januari 2002, kanker kembali. Dengan vengeance. 

Kali ini, dokter tidak optimis. Tidak ada lagi operasi. Tidak ada lagi kemoterapi agresif. Hanya perawatan paliatif—membuat Peter senyaman mungkin sementara penyakit mengambil alih. 

Peter tahu: ini adalah akhir permainan.

Keputusan untuk Menulis 

Ketika Peter menyadari waktunya terbatas, ia punya dorongan yang kuat: ia ingin meninggalkan sesuatu untuk anak-anaknya. Bukan hanya uang atau properti, tapi sesuatu yang lebih dalam—pemahaman tentang siapa ayah mereka, apa yang ia pelajari, bagaimana ia hidup. 

Seorang teman menghubungkan Peter dengan Laurence Shames—novelis misterious dan mantan kolumnis etika untuk majalah Esquire. 

Awalnya, Shames resistan. Menulis tentang kematian seseorang yang nyata, seseorang yang sekarat di hadapanmu? Itu terasa voyeuristic, morbid. 

Tapi setelah bertemu Peter, Shames berubah pikiran. Ada sesuatu tentang kejujuran Peter, keberaniannya, sense of humor bahkan di tengah dying—yang membuat Shames menyadari: ini adalah cerita yang perlu diceritakan. 

Mereka mulai bekerja. Peter berbicara, kadang dari tempat tidur, kadang sambil berjalan di taman dengan diffi kultny. Shames mendengar, bertanya, mencatat. 

Buku ini lahir dari percakapan-percakapan itu—dialog antara dua pria seusia yang telah memilih jalan hidup yang sangat berbeda, sekarang bertemu di persimpangan paling mendalam: kematian.

 


Bagian 4: Pelajaran dari Kehidupan yang Singkat Tapi Penuh 

1. Hanya Ada Saat Ini 

"Saya hampir bukan orang pertama yang menyadari bahwa hanya ada saat ini, terus-menerus," tulis Peter. 

Ini bukan observasi filosofis abstrak. Ini adalah kebenaran yang ia hidupi setiap hari. 

Ketika Anda tahu Anda sekarat, masa depan menyusut. Masa lalu tidak bisa diubah. Yang tersisa adalah sekarang—momen ini, napas ini, percakapan ini, pemandangan ini. 

Peter belajar untuk benar-benar hadir. Ketika ia bermain dengan anak-anaknya, ia tidak memikirkan pekerjaan atau rasa sakit. Ketika ia makan malam dengan istrinya, ia tidak distrak oleh ponsel atau email. Ketika ia menonton matahari terbit, ia benar-benar melihat. 

"Momen besar dalam hidup paling baik dipahami melalui hal-hal kecil," tulisnya. 

Momen besar—kelahiran anak, pernikahan, kesuksesan karir—semuanya penting. Tapi yang benar-benar menebus kita di akhir adalah momen kecil dari kesenangan dan cinta, momen-momen yang sangat present itu. 

Pelukan dari anak. Tawa dengan teman. Rasa kopi di pagi hari. Kehangatan matahari di wajah. Sentuhan tangan istri. 

Hal-hal kecil ini, ketika Anda benar-benar hadir untuk mereka, adalah segalanya.

2. Uang Perlu Dikerjakan, Bukan Dikhawatirkan 

Peter punya filosofi unik tentang uang: "Uang perlu dikerjakan tapi tidak dikhawatirkan. Itu akan muncul ketika diperlukan. Sementara itu, lebih baik memanjat pohon dan membuat manusia salju. Dengan kata lain, untuk hidup." 

Ia tidak anti-uang. Ia menghasilkan banyak uang dalam karirnya. Tapi ia tidak pernah membiarkan uang mendefinisikan hidupnya atau mengontrol keputusannya. 

Ketika ia mencapai "cukup"—jumlah yang membuat keluarganya aman—sisa uang hanyalah bonus. Penting, tapi tidak penting. 

Ini membebaskannya untuk membuat pilihan berdasarkan apa yang ia ingin lakukan, bukan apa yang membayar paling banyak.

3. Perbedaan Antara Risiko Bodoh dan Risiko Cerdas 

Peter adalah risk-taker. Ski bum. Dealer craps. Entrepreneur di industri yang belum ada. Tapi ia bukan reckless. 

"Kenali perbedaan antara risiko bodoh dan risiko cerdas," ia mengajarkan anak-anaknya. 

Risiko bodoh adalah melompat tanpa melihat. Risiko cerdas adalah menghitung peluang, memahami downside, dan kemudian—jika layak—melompat dengan penuh keyakinan. 

Peter melompat banyak kali dalam hidupnya. Dan karena ia cerdas tentang risikonya, sebagian besar lompatan itu berhasil. 

4. Ketahui Kapan Anda Butuh Perubahan Arah 

"Pahami kapan kamu butuh perubahan arah, dan punya keberanian untuk melakukannya," kata Peter. 

Terlalu banyak orang terjebak di jalur yang sudah tidak melayani mereka lagi—pekerjaan yang mereka benci, hubungan yang toxic, kehidupan yang tidak memuaskan—karena mereka takut berubah. 

Peter berubah arah berulang kali: dari ski bum ke politik, dari politik ke bisnis, dari executive ke teacher dan philanthropist. 

Setiap perubahan membutuhkan keberanian. Setiap perubahan terasa berisiko. Tapi setiap perubahan juga membawa pertumbuhan, pembelajaran, dan hidup yang lebih kaya. 

5. Arogan dari Kesehatan yang Baik 

"Kita sering bersalah dalam arogansi kesehatan yang baik," tulis Peter. 

Ketika Anda sehat, Anda lupa betapa rapuhnya tubuh Anda. Anda membuat rencana untuk 10 tahun ke depan seolah-olah Anda dijamin akan ada di sana. Anda menunda hal-hal penting—percakapan dengan orang yang Anda cintai, perjalanan yang Anda ingin lakukan, buku yang ingin Anda tulis—karena Anda pikir Anda punya waktu. 

Lalu sesuatu terjadi—diagnosa, kecelakaan, kematian mendadak seseorang yang Anda kenal—dan Anda menyadari: Anda tidak punya waktu. Tidak ada yang punya. 

Peter belajar pelajaran ini dengan cara paling keras. Dan ia ingin kita belajar tanpa harus mengalami apa yang ia alami: 

Hidup seolah-olah Anda akan hidup selamanya. Dan bersiaplah untuk mati besok.

6. Tidak Ada yang Sempurna atau Rapi 

"Aku hanya mencoba memberikan laporan jujur tentang apa yang aku alami dan terus alami," tulis Peter. "Aku tidak berpura-pura ini rapi." 

Dying tidak rapi. Tidak ada moments Hallmark setiap hari. Tidak ada kebijaksanaan yang mengalir terus-menerus. 

Ada hari-hari baik dan hari-hari buruk. Ada momen kejelasan dan momen kebingungan. Ada perdamaian dan ada ketakutan. 

Peter menolak untuk mempercantik pengalamannya. Ia berbagi semuanya—rasa sakit, ketakutan, kemarahan, juga keajaiban, penemuan, dan cinta. 

Kejujuran ini adalah salah satu hadiah terbesar bukunya. Ia tidak berpretensi punya jawaban. Ia hanya berbagi perjalanannya, dengan semua ketidaksempurnaannya.

 


Bagian 5: Momen-Momen Akhir 

Balon Udara di Fajar 

Salah satu hal yang Peter lakukan dalam bulan-bulan terakhirnya adalah mengatur untuk keluarganya naik balon udara bersama-sama saat fajar. 

Mereka terbang di atas pegunungan Colorado, matahari terbit mewarnai langit dengan warna emas dan merah muda, dunia di bawah mereka damai dan indah. 

Anak-anaknya tertawa. Istrinya tersenyum. Dan Peter, bahkan dengan rasa sakit yang konstan, merasa damai. 

Ini adalah cara ia "mengatur urusannya"—bukan hanya urusan legal dan finansial, tapi urusan emosional dan spiritual. Menciptakan memori terakhir yang indah untuk keluarganya. 

Penampilan Terakhir di MTV Awards 

Agustus 2002, hanya beberapa minggu sebelum kematiannya, Peter membuat penampilan publik terakhirnya di MTV Video Music Awards di New York. 

Eksekutif MTV dan CEO Starz Encore John Sie mengatur perjalanan untuk Peter dan keluarganya. 

Selama commercial break, MTV personality Carson Daly mengakui upaya Peter untuk memperluas distribusi MTV di tahun 1980-an awal. Ketika pengumuman dibuat, Peter—meskipun sakit dan lemah—berdiri dan mulai "rocking out." 

"Dia benar-benar bahagia," kenang seseorang yang hadir. "Aku akan mengingat itu sepanjang hidupku." 

Peter tahu pesta hampir berakhir. Tapi ia menolak untuk meninggalkan pesta lebih awal.

"Aku Tidak Bisa Percaya Semuanya Hanya Berhenti" 

Di hari-hari terakhir, Peter bergulat dengan pertanyaan yang mungkin kita semua tanyakan: Apa yang terjadi setelah ini? Apakah semuanya hanya... berhenti? 

Ia tidak punya jawaban pasti. Ia tidak berpura-pura tahu. 

"Aku tidak menghibur diriku bahwa kematianku kecil lebih penting daripada lima atau enam miliar orang yang mati sebelum ku," tulisnya. "Dan aku tidak berpura-pura memiliki kebijaksanaan khusus tentang apa yang terjadi. Tapi itulah intinya, bukan? Aku hanya satu orang lagi yang sekarat, mencoba memahami apa yang aku lalui."

Kejujuran ini—mengakui bahwa ia tidak tahu, bahwa ia takut, bahwa ia berjuang—membuat pengalaman nya universal. 

Kita semua sekarat. Beberapa dari kita hanya tahu jadwalnya. 

September 8, 2002 

Peter Barton meninggal di Denver, Colorado, dikelilingi oleh keluarganya yang mencintainya. Ia berusia 51 tahun. 

Beberapa hari kemudian, memorial service diadakan di Pepsi Center di Denver. Seribu lima ratus orang datang—keluarga, teman, kolega, orang-orang yang hidupnya ia sentuh. 

Mereka tidak datang untuk berduka. Mereka datang untuk merayakan—kehidupan yang dijalani dengan penuh, dengan keberanian, dengan cinta. 

Seperti yang Peter inginkan.

 


Bagian 6: Mewarisi Kebijaksanaan 

Untuk Anak-Anaknya 

Peter menulis buku ini terutama untuk tiga anaknya—sehingga ketika mereka dewasa, mereka akan tahu siapa ayah mereka, apa yang ia pelajari, apa yang ia pedulikan. 

Pesannya untuk mereka sederhana tapi mendalam: 

Hidup dengan berani. Ambil risiko cerdas. Jangan takut berubah arah ketika diperlukan. 

Kenali "cukup." Jangan menghabiskan hidupmu mengejar uang yang tidak pernah cukup. Temukan apa yang cukup untuk mu, lalu fokuslah pada hidup. 

Hadir. Momen-momen kecil adalah yang penting. Jangan melewatkan mereka. 

Cintai dengan penuh. Keluarga, teman, bahkan stranger—berikan cinta secara murah hati. Itu satu-satunya hal yang benar-benar penting di akhir. 

Untuk Kita Semua 

Tapi buku ini bukan hanya untuk anak-anak Peter. Ini untuk kita semua. 

Karena meskipun sebagian besar dari kita tidak tahu jadwal kematian kita, kita semua berada dalam perjalanan yang sama. 

Setiap hari yang kita jalani adalah satu hari lebih dekat ke akhir. Pertanyaannya bukan apakah kita akan mati—kita semua akan. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita akan hidup? 

Apakah kita akan hidup dengan fully present atau distracted? 

Apakah kita akan mengejar hal-hal yang benar-benar penting atau menghabiskan waktu pada yang sepele? 

Apakah kita akan mencintai dengan berani atau menjaga jarak yang aman? 

Apakah kita akan mengambil risiko untuk menjadi diri kita yang sejati atau bermain aman dan menyesal di akhir? 

Peter tidak berpura-pura punya semua jawaban. Tapi ia menunjukkan kepada kita satu cara—cara untuk hidup dengan penuh sampai detik terakhir.

 


Penutup: Tidak Akan Memudar 

Judul buku ini—"Not Fade Away"—diambil dari lagu Rolling Stones yang Peter cintai. Liriknya berbicara tentang cinta yang tidak akan memudar, tentang sesuatu yang bertahan melampaui waktu. 

Peter tahu tubuhnya akan memudar. Tapi ia juga tahu ada sesuatu dalam diri kita—mungkin jiwa, mungkin dampak kita pada orang lain, mungkin cinta yang kita berikan—yang tidak memudar. 

Buku ini adalah buktinya. 

Peter Barton meninggal pada September 2002. Tapi melalui buku ini, ia masih berbicara kepada kita. Masih mengajar kita. Masih menginspirasi kita. 

Pelajaran terakhir dari Peter: 

Jangan tunggu diagnosis terminal untuk mulai hidup dengan sepenuhnya. Jangan tunggu sampai terlambat untuk mengatakan "aku mencintaimu" kepada orang yang penting. Jangan tunggu sampai waktu hampir habis untuk melakukan hal-hal yang benar-benar penting. 

Hidup sekarang. Cintai sekarang. Hadir sekarang. 

Karena hanya ada sekarang. Dan sekarang—momen ini, napas ini, kesempatan ini—adalah semua yang benar-benar kita punya. 

Peter Barton tidak memudar. Dan jika kita menjalani hidup dengan keberanian dan kehadiran yang ia tunjukkan, kita juga tidak akan.

 


Tentang Buku Asli 

"Not Fade Away: A Short Life Well Lived" pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 oleh Rodale, satu tahun setelah kematian Peter Barton. 

Buku ini ditulis bersama dengan Laurence Shames, mantan kolumnis etika untuk Esquire dan novelis terkenal. Shames juga penulis ghost untuk "Boss of Bosses," bestseller New York Times. 

Format buku unik—bab-bab bergantian antara suara Peter (memoir, refleksi) dan suara Shames (observasi, konteks). Ini menciptakan dialog yang kaya antara dua perspektif. 

Peter Barton adalah pendiri dan CEO Liberty Media, tokoh penting dalam pembangunan industri televisi kabel. Ia meninggal pada 8 September 2002 di usia 51 tahun dari kanker perut. 

Buku ini menerima pujian luas: 

● Dave Barry: "Buku yang bijaksana, lucu, dan sangat benar—hadiah murah hati dari pria luar biasa" 

● Ken Auletta: "Monumen yang layak, buku tentang cara hidup dan cara mati"

● Jim Lehrer: "Mungkin buku paling jujur yang pernah saya baca" 

Untuk pengalaman penuh dari perjalanan mendalam Peter Barton, sangat disarankan membaca buku aslinya. Kejujurannya yang tidak kenal kompromi, humornya yang mengejutkan, dan kebijaksanaannya yang diperoleh dengan susah payah layak untuk dialami secara langsung. 

Ringkasan ini memberikan esensi dari pesan Peter, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan kekuatan penuh dari kata-katanya sendiri.