Kita Semua Tidak Rasional—Dan Itu Bisa Diprediksi
Bayangkan Anda sedang berbelanja online. Ada dua pilihan langganan:
● Digital: $59
● Digital + Cetak: $125
Mana yang akan Anda pilih? Pertanyaan mudah—tergantung kebutuhan Anda. Sekarang bayangkan ada opsi ketiga:
● Digital: $59
● Cetak saja: $125
● Digital + Cetak: $125
Mana yang Anda pilih sekarang?
Tiba-tiba, opsi Digital + Cetak terlihat seperti deal yang luar biasa! Anda mendapat digital dan cetak dengan harga yang sama dengan cetak saja. Siapa yang bodoh yang akan memilih cetak saja?
Inilah kenyataannya: tidak ada yang memilih opsi cetak saja. Tapi kehadirannya mengubah keputusan Anda secara dramatis.
Ketika Dan Ariely, profesor behavioral economics di Duke University, menunjukkan iklan The Economist ini kepada 100 mahasiswa MIT dengan tiga opsi, 84% memilih paket kombinasi seharga $125. Ketika ia menghilangkan opsi "cetak saja" yang tidak ada yang pilih, mayoritas mahasiswa justru beralih memilih opsi digital $59.
Opsi ketiga itu adalah "decoy"—umpan. Tidak ada yang akan memilihnya, tapi kehadirannya membuat opsi mahal terlihat seperti bargain.
Ini irasional. Tapi ini predictable—bisa diprediksi.
Dan Ariely menghabiskan lebih dari 20 tahun melakukan ratusan eksperimen untuk membuktikan satu hal: kita tidak serasional yang kita kira. Kita membuat keputusan bodoh berulang-ulang dengan cara yang sama. Dan jika kita memahami pola-pola ini, kita bisa membuat keputusan yang lebih baik.
Bagian 1: Segala Sesuatu Itu Relatif
Mengapa Kita Tidak Bisa Melihat Nilai Absolut
Anda berjalan ke toko elektronik. Ada tiga TV:
● TV A: $300
● TV B: $500
● TV C: $700
Mana yang akan Anda beli? Kebanyakan orang memilih TV B—yang tengah.
Sekarang bayangkan hanya ada dua pilihan:
● TV A: $300
● TV C: $700
Tiba-tiba keputusan menjadi lebih sulit. Dan banyak orang yang tadinya akan memilih TV $500 sekarang memilih TV $300.
Mengapa? Karena otak kita tidak dirancang untuk menilai hal secara absolut. Kita menilai dengan perbandingan.
TV $500 terlihat bagus dibandingkan TV $700 (tidak terlalu mahal) dan TV $300 (tidak terlalu murahan). Tapi tanpa konteks pembanding yang jelas, kita bingung.
Lingkaran Perbandingan
Kita tidak hanya membandingkan—kita membandingkan hal yang mudah dibandingkan.
Anda lebih cenderung membandingkan diri dengan teman sekolah daripada dengan Bill Gates. Mengapa? Karena teman sekolah dekat dengan "lingkaran" Anda. Bill Gates terlalu jauh untuk menjadi pembanding yang relevan.
Ini mengapa:
● Kita iri dengan kenaikan gaji teman kantor, tapi tidak dengan gaji CEO
● Kita membandingkan rumah kita dengan tetangga, bukan dengan istana raja
● Kita merasa tertinggal ketika teman posting liburan mewah di Instagram
Masalahnya: Semakin banyak kita bandingkan, semakin tidak bahagia kita. "Semakin banyak yang kita punya, semakin banyak yang kita inginkan," tulis Ariely.
Solusinya: Kontrol lingkaran perbandingan Anda. Fokus pada lingkaran yang lebih kecil dan lebih bermakna. Ketika ingin upgrade ponsel seharga 10 juta, tanyakan: "Apa lagi yang bisa saya beli dengan 10 juta itu?"
Bagian 2: Anchoring—Jangkar yang Mengikat Kita
Mutiara Hitam Tahiti
Tahun 1970-an, mutiara hitam dari Tahiti tidak bernilai apa-apa. Tidak ada yang mau membelinya.
Lalu seorang pengusaha jenius melakukan sesuatu yang brilian: ia menempatkan mutiara hitam di etalase butik mewah Fifth Avenue di New York, di samping berlian dan permata mahal lainnya, dengan harga yang sangat tinggi.
Tiba-tiba, mutiara hitam Tahiti menjadi simbol kemewahan. Harganya meroket.
Apa yang terjadi? Nilai mutiara itu di-"anchor"—dijangkarkan—pada harga tinggi. Dan begitu jangkar itu ditanam, persepsi kita tentang nilainya berubah.
Eksperimen Nomor Jaminan Sosial
Ariely melakukan eksperimen dengan mahasiswa. Ia meminta mereka menuliskan dua digit terakhir nomor jaminan sosial mereka (misalnya: 37, 82, 14).
Lalu ia menunjukkan berbagai produk: anggur, cokelat, buku, mouse komputer. Untuk setiap produk, ia bertanya: "Apakah Anda bersedia membayar produk ini dengan harga yang sama dengan dua digit nomor Anda?"
Misalnya, jika nomor Anda 82, apakah Anda bersedia membayar $82 untuk sebotol anggur?
Setelah mereka menjawab ya atau tidak, ia kemudian meminta mereka menulis berapa maksimal yang bersedia mereka bayar.
Hasilnya mengejutkan: Mahasiswa dengan nomor tinggi (80-99) bersedia membayar jauh lebih banyak daripada mahasiswa dengan nomor rendah (00-19).
Untuk sebotol anggur: kelompok nomor tinggi rata-rata bersedia bayar $56, sementara kelompok nomor rendah hanya $16.
Dua digit acak—yang tidak ada hubungannya dengan nilai produk—mempengaruhi berapa banyak orang bersedia membayar.
Pelajarannya: Harga pertama yang kita lihat menjadi jangkar yang mempengaruhi persepsi kita tentang nilai untuk waktu yang lama.
Ini mengapa:
● Toko menempatkan item mahal di depan—untuk set anchor tinggi
● Diskon terlihat bagus ("Dari 2 juta jadi 1 juta!")
● Negotiator profesional selalu menawarkan angka pertama untuk set anchor
Cara melawan: Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya benar-benar membutuhkan ini? Berapa nilai sebenarnya bagi saya?" Jangan biarkan harga yang tertera mendiktekan nilai.
Bagian 3: Kekuatan Magis dari GRATIS!
Eksperimen Cokelat
Ariely menawarkan dua jenis cokelat kepada orang-orang:
● Lindt truffle (cokelat premium): 15 sen
● Hershey's Kiss (cokelat biasa): 1 sen
Mayoritas memilih Lindt truffle. Masuk akal—cokelat lebih baik dengan harga hanya 14 sen lebih mahal.
Lalu ia mengubah harga:
● Lindt truffle: 14 sen
● Hershey's Kiss: GRATIS!
Apa yang terjadi? Mayoritas beralih ke Hershey's Kiss.
Tunggu—perbedaan harganya masih sama (14 sen)! Tapi kata "GRATIS!" mengubah segalanya.
Mengapa GRATIS! Begitu Kuat?
Ketika sesuatu gratis, otak kita berhenti berpikir rasional. Kita lupa tentang opportunity cost—apa yang kita korbankan.
"GRATIS!" berarti tidak ada risiko. Tidak ada kerugian. Tidak ada kemungkinan membuat kesalahan.
Contoh dalam kehidupan:
Amazon Free Shipping: Mengapa Anda menambah produk yang tidak perlu ke keranjang hanya untuk mendapat gratis ongkir? Karena "gratis" terasa seperti menang, meskipun sebenarnya Anda menghabiskan lebih banyak uang.
Buffet: Mengapa kita makan berlebihan di buffet? Karena makanan tambahan terasa "gratis," meskipun kita sudah bayar harga tetap.
Antrian panjang: Mengapa orang rela antri berjam-jam untuk ice cream gratis? Mereka lupa bahwa waktu mereka bernilai. Mereka bisa menggunakan waktu itu untuk bekerja atau bersantai.
Cara lebih rasional: Sebelum tergiur dengan "gratis," tanyakan:
1. Apakah saya benar-benar membutuhkan ini?
2. Berapa waktu/usaha yang saya korbankan?
3. Apakah ada biaya tersembunyi di masa depan?
Ingat: Tidak ada yang benar-benar gratis. Selalu ada opportunity cost.
Bagian 4: Sosial vs Pasar—Jangan Dicampur!
Dua Dunia yang Berbeda
Kita hidup di dua dunia sekaligus:
1. Dunia Sosial - teman, keluarga, komunitas, bantuan tanpa pamrih
2. Dunia Pasar - uang, kontrak, transaksi, kompensasi
Masalahnya terjadi ketika kedua dunia ini bercampur.
Eksperimen Memindahkan Sofa
Ariely melakukan eksperimen: minta orang untuk membantu memindahkan sofa besar.
Skenario 1: "Bisakah kamu bantu aku pindahin sofa?" Banyak orang dengan senang hati membantu. Mereka bekerja keras, bahkan mungkin lebih dari satu jam.
Skenario 2: "Bisakah kamu bantu aku pindahin sofa? Aku akan bayar $5." Orang-orang jadi sungkan. $5 untuk kerja keras satu jam? Tidak cukup. Banyak yang menolak.
Skenario 3: "Bisakah kamu bantu aku pindahin sofa? Aku akan bayar $50." Sekarang orang-orang mau membantu—tapi mereka tidak bekerja sekeras skenario 1. Mereka menghitung: "50 dolar untuk satu jam, oke lah."
Apa yang terjadi?
Dalam dunia sosial (tanpa uang), orang membantu karena altruisme. Mereka tidak menghitung effort mereka. Mereka bekerja keras karena ingin membantu.
Ketika uang kecil diperkenalkan, ini mengubah frame dari sosial ke pasar. Dan $5 terasa insulting untuk kerja keras. Ketika uang yang layak ditawarkan, orang berpikir dalam terms market—dan mereka membatasi effort mereka sesuai kompensasi.
Implikasi untuk Bisnis
Perusahaan yang pintar memahami ini:
Southwest Airlines tidak membayar karyawan paling banyak di industri. Tapi mereka menciptakan budaya keluarga, tujuan bersama, kebanggaan. Karyawan bekerja keras karena mereka peduli—bukan hanya karena gaji.
Google memberikan makanan gratis, gym, area bermain. Ini bukan hanya benefit—ini mengaktifkan norma sosial. Karyawan merasa dihargai sebagai manusia, bukan hanya sebagai pekerja.
Kesalahan fatal: Perusahaan yang membayar gaji tinggi tapi memperlakukan karyawan seperti robot. Atau perusahaan yang menciptakan budaya "keluarga" tapi pelit dengan kompensasi.
Pelajarannya: Pilih salah satu. Jika Anda mau menggunakan norma sosial, jangan berbicara tentang uang. Jika Anda mau menggunakan norma pasar, bayar dengan layak. Jangan mencampur keduanya—Anda akan mendapat hasil terburuk.
Bagian 5: Endowment Effect—Mengapa Kita Tidak Bisa Melepaskan
Eksperimen Tiket Basket
Duke University memiliki tim basket yang sangat populer. Tiket final match sangat langka. Mahasiswa harus masuk lotere untuk mendapatkannya.
Semua mahasiswa memiliki peluang yang sama—50/50. Tidak ada yang lebih "berhak" daripada yang lain.
Setelah lotere, Ariely bertanya kepada pemenang: "Berapa harganya jika aku mau beli tiketmu?"
Jawaban rata-rata: $2,400.
Lalu ia bertanya kepada yang tidak menang: "Berapa maksimal yang akan kamu bayar untuk tiket ini?"
Jawaban rata-rata: $170.
Tunggu—semua orang sama-sama menginginkan tiket. Semua mahasiswa Duke yang cinta basket. Tapi begitu seseorang memiliki tiket, perceived value-nya melonjak 14 kali lipat!
Ini adalah Endowment Effect—kita menilai lebih tinggi apa yang kita miliki dibandingkan nilai objektifnya.
Mengapa Ini Terjadi?
Tiga alasan:
1. Fokus pada kehilangan, bukan keuntungan Ketika kita punya sesuatu, kita fokus pada apa yang akan kita hilangkan jika melepasnya. Ketika kita belum punya, kita fokus pada apa yang harus kita bayar.
2. Asumsi bahwa orang lain melihat nilai yang sama Penjual berpikir: "Tiket ini berharga $2,400 bagiku, jadi pasti orang lain juga menilainya tinggi." Tapi tidak—hanya pemilik yang punya emotional attachment.
3. Kenangan dan fantasi "Aku akan sangat menikmati pertandingan ini." "Tiket ini akan menjadi kenangan selamanya." Kita memproyeksikan emosi ke objek.
Dalam Kehidupan Sehari-hari
Rumah: Pemilik ingin jual dengan harga tinggi karena "rumah ini punya banyak kenangan." Pembeli hanya melihat rumah biasa yang perlu renovasi.
Mobil tua: "Mobil ini masih bagus, aku tidak akan jual murah." Padahal di pasar mobil itu hanya bernilai sedikit.
Barang di lemari: "Suatu hari aku mungkin pakai lagi." Bertahun-tahun tidak terpakai, tapi kita tidak bisa membuang.
Cara melawan:
1. Tanyakan: "Jika aku belum memiliki ini, berapa banyak yang akan aku bayar untuk membelinya hari ini?"
2. Bayangkan diri Anda sebagai bukan pemilik. Lihat objek dari perspektif orang luar.
3. Pertimbangkan opportunity cost: "Apa yang bisa saya dapatkan jika saya menjual/melepaskan ini?"
Bagian 6: Prokrastinasi dan Self-Control
Eksperimen Tiga Kelas
Ariely mengajar tiga kelas berbeda. Semua kelas harus submit tiga paper selama 12 minggu.
Kelas 1 - Ultimate Flexibility: Tidak ada deadline untuk masing-masing paper. Semua paper harus diserahkan pada akhir semester.
Kelas 2 - Self-Imposed Deadlines: Mahasiswa bisa set deadline mereka sendiri untuk setiap paper. Sekali diset, deadline mengikat.
Kelas 3 - Fixed Deadlines: Professor menentukan deadline ketat untuk setiap paper—4 minggu, 8 minggu, 12 minggu.
Hasil?
Kelas 3 (fixed deadlines) mendapat nilai terbaik. Kelas 2 (self-imposed) di tengah. Kelas 1 (ultimate flexibility) terburuk.
Mengapa? Karena tanpa deadline, kita prokrastinasi. Banyak mahasiswa di Kelas 1 menunda semua paper sampai minggu terakhir dan terburu-buru.
Masalah Procrastination
Kita semua tahu kita prokrastinasi. Kita berniat melakukan hal yang baik untuk kita jangka panjang—diet, olahraga, menabung, belajar. Tapi kita menyerah pada godaan jangka pendek—Netflix, makanan enak, belanja online.
Mengapa ini terjadi? Karena manfaat jangka pendek konkret dan immediate. Manfaat jangka panjang abstract dan jauh.
Precommitment—Kunci Solusi
Cara melawan prokrastinasi adalah precommitment—membuat komitmen sebelum godaan datang.
Contoh praktis:
Uang: Transfer otomatis ke tabungan setiap gajian. Uang dipotong sebelum Anda bisa belanja.
Olahraga: Daftar personal trainer dan bayar di depan. Uang sudah keluar, Anda terpaksa datang.
Belajar: Buat janji belajar dengan teman. Anda tidak mau mengecewakan orang lain.
Diet: Jangan beli junk food. Jika tidak ada di rumah, Anda tidak bisa makan.
Pelajaran kunci: Kenali kelemahan Anda. Buat sistem yang memaksa Anda melakukan hal yang benar sebelum momen godaan tiba.
Bagian 7: Keputusan di Bawah Emosi—Hot State vs Cool State
Eksperimen Kontroversial
Ariely melakukan eksperimen dengan mahasiswa laki-laki (eksperimen ini kontroversial dan tidak akan diulang hari ini).
Ia memberi mereka kuesioner tentang perilaku seksual dalam dua kondisi:
Kondisi 1 - Cool State: Mahasiswa duduk tenang di kamar, menjawab pertanyaan rasional. "Apakah Anda akan berhubungan seks tanpa kondom?" "Apakah Anda akan memaksa jika pasangan menolak?"
Jawaban mayoritas: "Tentu tidak. Saya orang yang bertanggung jawab."
Kondisi 2 - Hot State: Mahasiswa diminta... ahem... membuat diri mereka sangat terangsang secara seksual, kemudian menjawab pertanyaan yang sama.
Hasil mengejutkan: Jawaban mereka berubah drastis. Banyak yang sekarang mengatakan ya untuk hal-hal yang mereka tolak dalam cool state.
Apa Artinya Ini?
Ketika kita emosional—marah, takut, terangsang, lapar—kita membuat keputusan yang sangat berbeda dari ketika kita tenang.
Masalahnya: Kita sangat buruk memprediksi bagaimana kita akan bertindak di hot state.
Contoh kehidupan:
Lapar: "Aku akan diet mulai besok." Tapi ketika lapar, Anda makan semua yang terlihat.
Marah: "Aku akan tetap profesional dalam meeting." Tapi ketika bos menyerang Anda, Anda meledak.
Belanja: "Aku tidak akan impulsif." Tapi ketika melihat diskon 70%, Anda kalap.
Horny: "Aku akan safe sex." Tapi di momen panas, Anda ambil risiko bodoh.
Cara Melindungi Diri
Buat keputusan di cool state, implementasikan di hot state.
Contoh:
● Pilih menu diet SEBELUM Anda lapar
● Tulis response email marah, tapi kirim BESOK setelah tidur
● Bawa kondom SEBELUM kencan, bukan bergantung pada keputusan saat itu
● Set budget belanja SEBELUM masuk mall
Pelajaran: Jangan percaya pada diri Anda di bawah emosi. Buat safeguard sebelum emosi datang.
Bagian 8: Keeping Options Open—Mengapa Kita Takut Menutup Pintu
Kisah Jenderal Xiang Yu
Tahun 210 SM, Jenderal China Xiang Yu menyeberangkan pasukannya melintasi Sungai Yangtze untuk pertempuran besar.
Setelah semua pasukan menyeberang, ia melakukan sesuatu yang gila: ia membakar semua kapal mereka.
Tidak ada jalan mundur. Tidak ada opsi retreat. Satu-satunya jalan adalah menang atau mati.
Pasukannya bertarung dengan ferocity yang belum pernah terjadi. Mereka memenangkan sembilan pertempuran berturut-turut.
Eksperimen Pintu yang Menghilang
Ariely menciptakan game komputer sederhana. Ada tiga kamar berbeda (merah, biru, hijau), masing-masing memberikan reward berbeda ketika di-klik.
Versi 1: Pemain bisa pindah antar kamar kapan saja. Strategi optimal adalah menemukan kamar dengan reward tertinggi dan tetap di situ.
Versi 2: Jika pemain tidak mengunjungi sebuah kamar selama beberapa klik, pintu kamar itu mengecil dan akhirnya hilang selamanya.
Hasil: Pemain menghabiskan banyak klik berlari antar kamar untuk menjaga semua pintu tetap terbuka—meskipun ini mengurangi total reward mereka.
Mereka takut kehilangan opsi, bahkan opsi yang buruk.
Dalam Kehidupan Kita
Kita melakukan ini sepanjang waktu:
Karir: Mengejar dua pekerjaan sekaligus, tidak commit sepenuhnya ke salah satu, akhirnya biasa-biasa saja di keduanya.
Hubungan: Tidak mau commit pada satu orang, terus maintain banyak opsi, akhirnya tidak ada yang serius.
Bisnis: Mencoba banyak venture sekaligus, tidak fokus, semua gagal.
Hobi: Daftar gym, kelas music, kelas bahasa—tidak ada yang dikuasai karena terlalu tipis.
Mengapa kita lakukan ini? Karena menutup pintu terasa seperti kehilangan. Otak kita lebih takut kehilangan daripada senang mendapat.
Solusi: Bakar kapalmu. Tutup pintu-pintu yang tidak perlu. Fokus pada yang penting.
Seperti kata Ariely: "Kita akan lebih bahagia dan lebih sukses jika kita berhenti mencoba menjaga semua opsi tetap terbuka dan berani commit."
Penutup: Kita Irasional—Tapi Ada Harapan
Di akhir buku, Ariely menulis dengan optimis: "Meskipun kita adalah makhluk irasional yang menjadi korban ilusi, kita tidak tak berdaya. Kita bisa belajar berperilaku berbeda."
Langkah Praktis
1. Kenali Pola Anda Perhatikan keputusan bodoh yang Anda buat berulang kali. Apakah Anda selalu overspend? Prokrastinasi? Membeli barang tidak perlu karena "gratis"? Awareness adalah langkah pertama.
2. Desain Sistem, Bukan Bergantung pada Willpower Jangan lawan irasionalitas dengan willpower. Willpower terbatas. Sebagai gantinya, desain sistem yang membuat perilaku baik menjadi default.
Contoh:
● Transfer otomatis ke tabungan (melawan impulsif spending)
● Hapus app belanja dari ponsel (melawan belanja online impulsif)
● Potong kartu kredit (melawan debt)
● Meal prep Minggu (melawan makanan tidak sehat)
3. Buat Precommitment Commit sebelum godaan datang. Taruhan uang Anda. Buat public commitment. Minta teman untuk hold you accountable.
4. Slow Down di Keputusan Penting Untuk keputusan besar—membeli rumah, ganti kerja, menikah—tunggu sampai Anda di cool state. Jangan putuskan ketika emotional.
5. Pertanyakan Asumsi Anda "Apakah saya benar-benar butuh ini?" "Mengapa saya pikir ini bernilai?" "Apakah saya dipengaruhi oleh anchor/decoy/free?"
Pesan Terakhir
Traditional economics bilang kita rasional. Kita tahu apa yang kita mau. Kita membuat keputusan berdasarkan self-interest.
Behavioral economics—dan Predictably Irrational—membuktikan ini salah. Kita tidak rasional. Kita membuat kesalahan bodoh berulang kali.
Tapi ada kabar baik: Karena kesalahan kita predictable—bisa diprediksi—kita bisa merancang sistem untuk melawan mereka.
Anda tidak bisa mengubah otak Anda. Tapi Anda bisa mengubah lingkungan Anda. Dan itu cukup untuk membuat perbedaan besar.
Seperti yang Ariely tulis:
"Irasionalitas kita bukan acak atau tanpa makna—ia sistematis dan predictable. Begitu Anda melihat seberapa sistematisnya kesalahan tertentu—bagaimana kita mengulanginya lagi dan lagi—saya pikir Anda akan mulai belajar bagaimana menghindari beberapa dari mereka."
Jadi, apa yang akan Anda lakukan berbeda mulai hari ini?
Tentang Buku Asli
Predictably Irrational: The Hidden Forces That Shape Our Decisions pertama kali diterbitkan pada 2008 dan menjadi New York Times bestseller.
Dan Ariely adalah profesor behavioral economics di Duke University dan sebelumnya di MIT. Ia memegang Ph.D. dalam cognitive psychology dan business administration.
Perjalanan Ariely ke behavioral economics dimulai dari tragedi personal. Saat remaja, ia mengalami ledakan yang menyebabkan luka bakar parah di 70% tubuhnya. Selama tiga tahun di rumah sakit, ia mengamati bagaimana perawat dan dokter—dengan niat baik—membuat keputusan systematic yang memperburuk rasa sakitnya.
Pengalaman ini membuat ia curiga: Jika orang-orang cerdas dan berpendidikan membuat kesalahan predictable, mungkin kita semua melakukannya.
Buku ini adalah hasil dari ratusan eksperimen dengan ribuan partisipan—kebanyakan mahasiswa MIT, Harvard, dan Duke. Setiap chapter adalah kumpulan eksperimen yang mendemonstrasikan satu bias kognitif.
Buku ini telah diterjemahkan ke 40+ bahasa dan bahkan diadaptasi menjadi serial TV NBC "The Irrational" pada 2023.
Untuk pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana pikiran Anda benar-benar bekerja, sangat disarankan membaca buku aslinya. Ariely menulis dengan gaya yang engaging, lucu, dan accessible—tidak seperti textbook membosankan.
Ringkasan ini memberikan essence dari ide-ide utama, tetapi pengalaman lengkap dari eksperimen-eksperimen mengejutkan dan insight-insight mendalam hanya bisa didapat dari buku lengkapnya.
Sekarang pergilah dan buat keputusan yang lebih baik.
Atau setidaknya, sadari ketika Anda membuat keputusan bodoh—dan tertawakan diri sendiri.

